no title
Langit mendung menemani langkah kakiku menuju rumah. Mataku berat setelah tidak berhenti menangisimu. kepergianmu yang tanpa pamit menyisakan duka begitu mendalam. Aku belum siap untuk bertualang sendirian, aku terlalu takut untuk berkendara sendirian, kuharap kamu tahu.
Seiring napas yang memburu ketika aku berlari mengejarmu, kamu menghempaskan tanganku dengan kasar. Aku menangis tak bersuara, katamu kau lebih memilih untuk tidak melihat aku.
Aku menyayangimu dengan sungguh wahai pria yang berknalpot bising. Aku tak akan beranjak dari belakang punggungmu, aku akan tetap disitu. Aku tidak akan berharap banyak supaya kau menengokku lebih lama. Tapi rasa ini semakin sakit ketika dengan sengaja kau hujam aku dengan bersandingan bersama gadis lain.
Jika aku bisa pinjam paras dari gadis impianmu, akan kulakukan. Aku bingung harus bagaimana lagi menemukan cara agar kau mencintaiku seutuhnya. Aku lelah jika pada akhirnya lagi lagi kamu yang menyerah. Luka yang berusaha aku samarkan semakin lama terpampang jelas lewat tangisku yang tak terbendung. Sedih ini berkepanjangan, tiga tahun penantian kau gantikan dengan goresan yang semakin dalam kau tancapkan. Kau hanya perlu bangun dan tersadar, bahwa disini aku mengasihimu sesederhana caraku.
Namun apalah arti kita? Tak boleh aku menyebut kau dan aku sebagai kita. Mungkin dulu kau tak suka mengobrol sambil bertatapan, namun kini kau menyesal tak pernah memaksaku untuk minum kopi bersama. Bukannya berbicara tatap muka selalu lebih menyenangkan?
Jika banyak orang mengeluh ketika chatnya tidak dibalas, aku bersyukur masih bisa melihat bola matamu yang kecoklatan. Meski tak ada lagi sepatah kata yang keluar dari bibirmu tapi aku bersyukur Tuhan menciptakanmu.
Padamu aku pasrahkan seluruh rasaku, ditengah daun berguguran yang tak pernah membenci angin aku lantunkan puisi patah hati yang baru saja kutulis, Hingga kau kembali lagi, hingga perjumpaan berikutnya, aku haturkan doa yang tiada pernah putus agar kau sesegera mungkin kembali.
Tapi aku tetap akan berjanji, tak akan lepas genggamanku padamu.
Seiring napas yang memburu ketika aku berlari mengejarmu, kamu menghempaskan tanganku dengan kasar. Aku menangis tak bersuara, katamu kau lebih memilih untuk tidak melihat aku.
Aku menyayangimu dengan sungguh wahai pria yang berknalpot bising. Aku tak akan beranjak dari belakang punggungmu, aku akan tetap disitu. Aku tidak akan berharap banyak supaya kau menengokku lebih lama. Tapi rasa ini semakin sakit ketika dengan sengaja kau hujam aku dengan bersandingan bersama gadis lain.
Jika aku bisa pinjam paras dari gadis impianmu, akan kulakukan. Aku bingung harus bagaimana lagi menemukan cara agar kau mencintaiku seutuhnya. Aku lelah jika pada akhirnya lagi lagi kamu yang menyerah. Luka yang berusaha aku samarkan semakin lama terpampang jelas lewat tangisku yang tak terbendung. Sedih ini berkepanjangan, tiga tahun penantian kau gantikan dengan goresan yang semakin dalam kau tancapkan. Kau hanya perlu bangun dan tersadar, bahwa disini aku mengasihimu sesederhana caraku.
Namun apalah arti kita? Tak boleh aku menyebut kau dan aku sebagai kita. Mungkin dulu kau tak suka mengobrol sambil bertatapan, namun kini kau menyesal tak pernah memaksaku untuk minum kopi bersama. Bukannya berbicara tatap muka selalu lebih menyenangkan?
Jika banyak orang mengeluh ketika chatnya tidak dibalas, aku bersyukur masih bisa melihat bola matamu yang kecoklatan. Meski tak ada lagi sepatah kata yang keluar dari bibirmu tapi aku bersyukur Tuhan menciptakanmu.
Padamu aku pasrahkan seluruh rasaku, ditengah daun berguguran yang tak pernah membenci angin aku lantunkan puisi patah hati yang baru saja kutulis, Hingga kau kembali lagi, hingga perjumpaan berikutnya, aku haturkan doa yang tiada pernah putus agar kau sesegera mungkin kembali.
Tapi aku tetap akan berjanji, tak akan lepas genggamanku padamu.
Komentar
Posting Komentar