TANPA JUDUL
Aku sadar ini hanya ketertarikan semata, bukan cinta yang luar biasa. Coba kau jelaskan padaku, mengapa jatuh cinta padamu bisa serumit ini? Bahkan disela-sela hari belajarku terselip kamu setidaknya diotakku. Senyummu tak bisa aku jelaskan dengan kata-kata, karena kamu adalah kunci semangatku. Tapi aku tak perlu merasa sesenang ini bukan? Mengingat kamu memiliki dia sebagai sandaranmu disaat sepi. Kamu menguasai hari-hariku, dimana aku tersenyum disaat kamu tersenyum, bahkan aku sering melongo ketika tak sengaja melihat kamu mengibas poni itu. Duh!
Meski kerjamu membuatku jengkel, tapi jujur aku tak bisa bertahan untuk marah lebih lama. Aku melakukan gerak-gerik agar tertangkap oleh sorot matamu, namun tetap saja pandangan itu tak pernah siap untuk melihat kearahku.
Aku selalu teringat bagaimana kamu menatap kedalam bola mataku, menyorot penuh makna, disertai senyuman yang luar biasa manis. Kamu begitu mempesona apalagi ketika kamu terlelap, yang secepat mungkin kutatap dalam keheningan. Sungguh aku tidak bisa menghilangkanmu dari pikiranku.
Mustahil bila kita bisa bersama lagi, bicara berdua saja hatiku sudah senang sekali. Ditambah batang hidungmu yang mancung membuat aku tersenyum lebar karena menatapmu lama-lama. Aku benci menerjemahkan isyarat-isyarat dalam gerakan bola matamu, aku benci mengintip senyum yang tersembunyi dari belakang jaketmu, dan aku benci harus menghabiskan waktuku menatapmu dari jauh. Mungkin aku bisa di isyaratkan sebagai sang pemuja rahasia, ya karena dalam diam ku ada kamu yang selalu gentayangan.
Kamu sang laki-laki dibarisan depan, yang sediakala terlelap jika sang guru tak memperhatikan. Maaf jika aku berlebihan memberikan komentar, tapi ini semua karena perasaan menggebu untuk segera bicara denganmu. Maaf jika aku tidak pernah bisa jadi teman yang tenang, maaf jika suara nyanyianku dan teman lainnya mengganggu tidurmu. Tapi aku takut jika aku tak bisa lagi melihatmu marah, terlebih lagi kau hanya 'teman' ku jadi setiap kali kamu mau pergi itu adalah hakmu dan aku tidak bisa melarang atas itu.
Ketahuilah, tuan. Aku disini mati-matian melawan rasa itu, rasa untuk segera pergi meninggalkan memori kita. Namun tersadar bahwa kita pernah melangkah sampai sejauh ini, maka kembali lagi keawal. Sepertinya aku akan terus memperjuangkanmu, melawan rasa takut untuk kehilanganmu, melawan sakitnya diabaikan, dan melawan hati yang memberontak untuk pergi.
Sayang, aku tak pernah ada keberanian lagi untuk berkata,
bahwa aku benar benar menyayangimu melebihi apapun.
Meski kerjamu membuatku jengkel, tapi jujur aku tak bisa bertahan untuk marah lebih lama. Aku melakukan gerak-gerik agar tertangkap oleh sorot matamu, namun tetap saja pandangan itu tak pernah siap untuk melihat kearahku.
Aku selalu teringat bagaimana kamu menatap kedalam bola mataku, menyorot penuh makna, disertai senyuman yang luar biasa manis. Kamu begitu mempesona apalagi ketika kamu terlelap, yang secepat mungkin kutatap dalam keheningan. Sungguh aku tidak bisa menghilangkanmu dari pikiranku.
Mustahil bila kita bisa bersama lagi, bicara berdua saja hatiku sudah senang sekali. Ditambah batang hidungmu yang mancung membuat aku tersenyum lebar karena menatapmu lama-lama. Aku benci menerjemahkan isyarat-isyarat dalam gerakan bola matamu, aku benci mengintip senyum yang tersembunyi dari belakang jaketmu, dan aku benci harus menghabiskan waktuku menatapmu dari jauh. Mungkin aku bisa di isyaratkan sebagai sang pemuja rahasia, ya karena dalam diam ku ada kamu yang selalu gentayangan.
Kamu sang laki-laki dibarisan depan, yang sediakala terlelap jika sang guru tak memperhatikan. Maaf jika aku berlebihan memberikan komentar, tapi ini semua karena perasaan menggebu untuk segera bicara denganmu. Maaf jika aku tidak pernah bisa jadi teman yang tenang, maaf jika suara nyanyianku dan teman lainnya mengganggu tidurmu. Tapi aku takut jika aku tak bisa lagi melihatmu marah, terlebih lagi kau hanya 'teman' ku jadi setiap kali kamu mau pergi itu adalah hakmu dan aku tidak bisa melarang atas itu.
Ketahuilah, tuan. Aku disini mati-matian melawan rasa itu, rasa untuk segera pergi meninggalkan memori kita. Namun tersadar bahwa kita pernah melangkah sampai sejauh ini, maka kembali lagi keawal. Sepertinya aku akan terus memperjuangkanmu, melawan rasa takut untuk kehilanganmu, melawan sakitnya diabaikan, dan melawan hati yang memberontak untuk pergi.
Sayang, aku tak pernah ada keberanian lagi untuk berkata,
bahwa aku benar benar menyayangimu melebihi apapun.
Komentar
Posting Komentar